Kamis, 20 Juni 2013

ANTARA TRADISI DAN CERMIN TOLERANSI

Dzikir Bersama Forum Mujalasah Mursyid Muqaddam Masyayikh Tariqat Mukatabarah dan Jam'iah Tariqat Muktabarah Indonesia


Acara dzikir ini sebenarnya sebagai ajang silaturahim agar menghasilkan khusnul khatimah. Hablum minallah, berzikir kepada Allah dan hablum minannas-nya dengan saling mengenal satu sama lain, sehingga hubungan antarumat satu agama berjalan tanpa sekat.

Tata ruang masyikhah malam itu, ditata berbeda dengan biasanya. Kursi-kursi betawi yang biasanya disusun melingkar tiap-tiap stel, dipindahkan sementara dan diganti hamparan permadani. Belasan bantal berukuran sedang berwarna putih, ditempatkan diatas permadani. Dua vas bunga besar berisi bunga sedap malam ditempatkan ditengah permadani. Suasananya penuh dengan aura religi. Semua itu untuk menyambut rombongan tariqat yang malam itu akan berdzikir dan berdoa di Al-Zaytun.

Pukul 20:45 tamu yang ditunggu pun telah tiba. Mereka, mengenakan baju berlengan lebar warna hitam, celana gombrong warna senada, dipadu sorban biru laut, K.H. Maktub Effendi tampak lebih ''berwibawa.'' Busana yang dikenakan tamu yang lain pun mirip seperti yang dikenakan sang ketua, kalau pun modelnya serupa yaitu hitam.

Ini untuk pertama kalinya tariqat yang tergabung dalam Forum Mujalasah, Mursyid Muqaddam Masyayikh, Tariqat Muktabarah Indonesia mengadakan dzikir bersama di Al-Zaytun. Hal ini dilatarbelakangi karena ada kedekatan antara Al-Zaytun dengan Ketua 'Am forum tersebut. ''Memilih di sini karena Pak Kyai sudah mengenal lama Al-Zaytun,'' kata K.H. Drs. Ahmad Rofi'i, M. Ag selaku sekjen.

Acara dilaksanakan pada selasa (7/1) atau malam Rabu terakhir Shafar 1434 H. Menurut K.H. Rofi'i, ini sudah merupakan kegiatan rutin diforum. Tradisi pengajian ini dalam rangka pendekatan kepada ALLAH, para malaikat dan jin. ''Bulan Shafar buat kita ada tradisi Rabu Pungkasan,'' kata Kyai Rofi'i.

Rabu Pungkasan atau disebut juga Rebo Wekasan. Istilah ini dipakai untuk menamai hari Rabu di akhir bulan Shafar dalam kalender hijriah. Ada yang berkeyakinan, bahwa hari itu akan turun bala (penyakit, bencana, musibah). Hal ini diterangkan dalam kitab ''Kanzun Najah'' buah pena Syaykh Abdul Hamid bin M. Ali Quds. Dalam kitab tersebut dijelaskan, bahwa pada akhir bulan shafar akan turun bala sebanyak 350.000 bala.

Untuk menolak bala agar tidak ada sesuatu yang tidak diinginkan di antaranya dengan melakukan amalan-amalan khusus. Ada juga dengan cara melakukan shalat sunah empat rakaat. Shalat ini dilakukan pada pagi hari (waktu dhuha) sebanyak empat rakaat dengan satu kali salam.

Sedangkan dzikir malam itu diisi dengan pembacaan shalawat sebanyak 300 kali. Kemudian dilanjutkan dengan khatam Alquran yang dibaca secara bersama-sama. Masing-masing peserta membaca sebanyak satu juz. Syaykh Al-Zaytun mendapat jatah juz pertama dan sebagai juz penutup (juz 30) oleh K.H. Mahtub Effendi.

Selesai khatam Alquran dilanjutkan berdoa bersama, dipimpin oleh K.H. Mahtub. Jamaah diajak berdoa, memohon keselamatan dan kesehatan semuanya. Selain itu, kyai juga mengajak untuk mendokan Al-Zaytun agar terhindar dari bahaya dan bencana.

Menurut K.H. Mahtub, dzikir ini diikuti oleh beribu-ribu jin dan disaksikan malaikat. Jin dan malaikat pun adalah makhluk ALLAH yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. ''Beribu-ribu jin dan malaikat akan menyaksikannya,'' terang K.H. Mahtub.

Selesai acara, dilanjutkan dengan bincang-bincang dan pengenalan. Dalam perbincangan, Syakh menjelaskan bahwa acara ini sejatinya adalah sebagai ajang silaturahim. Pertemuan dalam rangka hablum min ALLAH dan hablum min al Nas agar menghasilkan khusnul khatimah. Hablum min ALLAH dengan berdzikir kepada ALLAH dan hablum min al Nas-nya dengan saling mengenal, yangsebelumnya tidak saling kenal. ''Seandainya itu disusun dengan oraganisasi tentu memerlukan AD/ART, konggres, dll. yang belum tentu ada ujung pangkalnya,'' kata Syaykh.

Cara tersebut telah dicontohkan oleh para ulama terdahulu. Semua itu karena Islam yang datang ke Indonesia menggunakan pendekatan budaya. ''Tidak melalui pendekatan pedang.'' kata Syakh. Yang dalam sejarahnya dibawa oleh tentara-tentara Kubilai Khan yang disebut hui-hui (China keturunan Timur Tengah). Mereka hendak menyerang Kediri. Semuanya kalah tetapi mereka tidak kembali ke negaranya. Untuk menghilangkan jejak mereka berbaur dengan masyarakat menggunakan bahasa lokal.

Kemudian datang lagi pasukan yang lebih besar, semuanya muslim dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho. Mereka inilah yang kemudian mengislamkan nusantara dengan pendekatan budaya bermadzhabkan Hanafi. Tata cara peribadahan dikala itu semua menggunakan bahasa China. ''Kalau di Turku ada adzan di Turkikan, disini sudah lebih dulu pakai bahasa China,'' kata Syaykh.

Setelah Cheng Ho wafat baru diadakan reformasi ke madzhab Safi'i oleh wali-wali yang disebut wali songo. Ciri-cirinya, semua tata cara peribadahan menggunakan bahasa Arab, adzan dan doa memakai bahasa arab. Selain itu hadis-hadis, kitab dan ayat-ayat Quran diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. ''Jadi, jangan dikatakan kejawen itu jelek, karena itu terjemahan,'' kata Syaykh. Semua dilakukan dengan pendekatan budaya. Sampai tahun 1500-an masuklah Belanda. Disinilah awal penghancuran dengn didatangkannya orang-orang yang tidak mengenal di Al Islam.

Ketika teknologi sudah ditemukan, kapal api sudah dibuat dan Teruzan Suez sudah dibuka, masuklah semuanya, termasuk dari timur tengah. Masuklah pemahaman muslim yang tidak menggunakan budaya yaitu pemahaman hitam putih. Muslim dengan muslim di ''adu domba.'' disitulah timbul keegoisan pembenaran terhadap kelompoknya. Menurut kelompok A dialah yang benar, si B salah, begitu pun sebaliknya. ''Kata si ini dia itu bid'ah tetapi kata si itu ini yang bid'ah, kalau begitu siapa yang masuk surga,'' kata Syaykh. Gara-gara qunut dan tidak qunut pun dikatakan bid'ah, dll.

Sedangkan pemahaman sebelumnya, dari mana saja yang penting baik itu diambil dengan pendekatan budaya. ''Kita duduk begini awalnya budaya, untuk itu malam ini kita menyatu dari ujung sampai akhir agar khusnul khatimah,'' kata Syaykh. Tidak ada orang Indonesia asli, yang ada adalah warga negara Indonesia keturunan. Ada yang dari Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Papua yang kemudian menemukan indos nesos. Yang selanjutnya pada 1928 diikrarkanlah bahwa kita ini satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air, Indonesia. ''Jangan sampai diadu domba oleh kekerasan hitam-putih,'' kata Syaykh.

Penerimaan penuh keakraban, hangat dan gupuh (sibuk) yang dilakukan Al-Zaytun kepada jamaah Tariqat ini, mencerminkan budaya toleransi telah mengakar kuat. Tak pernah melihat siapa dan dari madhzab apa. ''Sesama agama jangan kaku, dengan yang berbeda agama sebaiknya bertoleransi,'' kata Syaykh Al-Zaytun. Karena memang sesungguhnya perbedaan adalah cermin betapa beranekanya budaya bangsa ini.

Z Rasna

Sumber asli:
ANTARA TRADISI DAN CERMIN TOLERANSI

Dzikir Bersama Forum Mujalasah Mursyid Muqaddam Masyayikh Tariqat Mukatabarah dan Jam'iah Tariqat Muktabarah Indonesia

http://roadtohell.mywapblog.com/antara-tradisi-dan-cermin-toleransi.xhtml

0 komentar:

e-referrer.com